Minggu, 02 November 2014

Cerpen Budaya: Permainan Batu Tujuh


PERMAINAN BATU TUJUH
Oleh Fiebriantie ( VII A )

Hai teman- teman, perkenalkan namaku Reika panggil saja aku Ika biar kita lebih akrab giti lho. Oh ya, aku tinggal di Dusun Tanjung Ular Desa Air Putih Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat.
Dusun kami kaya akan hasil laut, pertambangan timah, karet dan juga kelapa sawit. Walaupun kami kaya akan hasil kekayaan laut dan perkebunan tetapi kami juga kaya akan permainan tradisionalnya.
Ya, mungkin permainan itu sudah ada sejak zaman nenek moyangku. Permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak di dusunku ini salah satunya adalah batu tujuh.
Permainan ini asyik sekali lho, dan cara mainnya pun gampang, kita tinggal menyiapkan 7 buah batu kecil dan 1 buah batu besar. Cara bermainnya kita terlebih dahulu harus menyusun 7 buah batu kecil di lingkaran yang ukurannya agak sedang dan meletakkan 1 buah batu besar itu disamping batu kecil, nah setelah itu kita tinggal menentukan siapa yang menjaga dengan cara hompimpah, permainan ini juga sama dengan permainan petak umpet, bedanya jika yang menjaga sudah menemukan kita yang sembunyi dia tinggal menginjak batu besar yang ada di dekat batu kecil. Itu artinya kita sudah ditemukan oleh si penjaga.
Kalaupun sudah ada yang tertangkap kita bisa menyelamatkan mereka dengan cara menendang batu kecil itu tetapi tidak boleh keluar dari lingkaran yang sudah di gambar. Nah, begitulah cara mainnya.
Sepulang sekolah aku akan mengajak Dino, Andi, Laras dan Dinda untuk bermain batu tujuh.
“Hai, teman-teman.”, Sapa ku ramah.
“Hai Ika, ada apa ?” Tanya Andi.
“Nanti sore kita main, yuk.” Ajakku.
“Bermain apa?”, jawab Laras dan Dinda.
“Itu loh, permainan yang biasa kita main, masa kalian tidak ingat ?” ucapku.
“Oh… batu tujuhkan ?” Jawab semuanya dengan serempah.
“Yap, tepat sekali” Jawabku sambil tersenyum.
“Kalau begitu nanti sore kami ke rumahmu ya!” Ucap Dino dengan semangatnya.
“Oke, sampai ketemu nanti ya” Jawabku sambil tersenyum kecil.
“Ku tunggu lho!” Ucapku sambil pergi meninggalkan mereka.

Sore pun tiba, Dino, Andi Laras, dan Dinda pun datang ke rumahku.
“Ikaaa…….” Panggil Dino, Andi, Laras, dan Dinda dengan serempak.
“Ya, tunggu sebentar” Ucapku sambil setengah berteriak.
Aku pun keluar rumah menemui mereka.
“Maaf ya, telah membuat kalian semua menunggu” Ucapku dengan rasa bersalah.
“Ika, kamu ini selalu telat ya, padahal kami sudah lama menunggu” Kata Laras dan Dinda dengan ketus.
“Ya, maaf deh maaf” Jawabku sambil tersenyum-senyum.
“Tapi Ika, kamu itu harus menghargai kita dong, masa kita harus menunggu kamu terus!” Kata Andi dengan muka masam.
“Iya tuh…benar apa kata Andi”, Ucap Laras.
“Iya….iya, kok aku jadi diceramahin sih”, ucapku sambil cemberut.
“Makanya, jangan suka buat kami menunggu kamu terus. Sekali-sekali kamu yang menunggu kita” ucap Dinda.
“Ya…., sudahlah ayo kita main” Ajak Dino.
“Ayo” Ucap kami semua dengan semangat.

Pada saat kami semua ingin pergi ke lapangan untuk bermain batu tujuh, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang kami. Sontak kami semua terkejut, kami pikir itu suara siapa ternyata itu suara nenekku. Nenekku itu bernama Nek Rati. Ia sangat menyukai permainan tradisional nenekku pun tahu banyak hal tentang permainan tradisional. Walaupun usianya yang sudah tua dan mudah lupa akan tetapi ia tetap ingat akan permainan tradisional yang kaya akan budaya, salah satunya batu tujuh.
“Oh.. ternyata nenek, bikin kaget saja” Ucapku.
“Iya nek, kami pikir tadi siapa” Ucap Dinda.
“Oh, maaf ya cu” Ucap nenekku.
“Aah, tidak apa kok Nek, memangnya ada apa Nek ? Tanyaku.
“Tidak Cu, Nenek cuma mau tanya kalian semua mau pergi kemana ?” Tanya Nenek.
“Kami mau pergi ke lapangan Nek” Ucapku.
“ Ke lapangan…? Memangnya kalian mau apa ?”
“Kami ingin bermain batu tujuh, nek ?” Ucap kami semua dengan serentak.
“Batu tujuh ? Nenek jadi terbayang masa lalu nenek, dulu nenek suka sekali bermain batu tujuh bersama teman-teman nenek.” Ucap Nenekku sambil mengingat-ingat masa lalunya.
Tapi terkadang aku sering bertanya-tanya, kenapa sih nama permainan ini batu tujuh dan mengapa batu itu harus tujuh. Apa maksudnya susunan tujuh batu itu. Daripada aku penasaran, aku pun bertanya kepada nenek.
“Nek” Panggilku.
“Ya Cu, ada apa?” Tanya nenek.
“Aku ingin tanya tentang permainan batu tujuh” Jawabku pada nenek.
“ Batu tujuh…. Emangnya ada apa cu ?” Jawab Nenek heran.
“Begini nek, aku heran kenapa permainan ini harus memakai batu dan bertingkat tujuh?” Tanyaku pada nenek dengan rasa penasaran.
“Iya nek, kenapa”” Tanya Dino, Andi, Laras, dan Dinda dengan rasa penasaran juga.
“Hmm… dulu nenek juga tidak tahu kenapa harus memakai batu dan juga kenapa harus bertingkat tujuh. Tapi akhirnya nenek tau maksud dari permainan ini. Maksudnya tujuh batu yang kita susun itu artinya adalah iman kita, jika iman kita kuat dan tidak mudah dihancurkan ibaratnya seperti batu keras dan susah untuk dihancurkan asal kita mempunyai iman yang kuat dan tidak mudah goyah maka iman kita akan berdiri kokoh seperti ibaratnya dengan batu yang disusun bertingkat dengan kokohnya dan jika iman kita tidak kuat dan mudah goyah maka kita akan mudah dihancurkan walaupun semulanya kita memiliki iman yang kokoh tapi jika tidak menjaganya dan seenak-enaknya maka kita akan jatuh dan iman kita menjadi cerai berai, sama dengan permainan batu tujuh. Batu yang sudah kita susun sekokoh-kokohnya tapi jika kita tidak menjaganya dengan benar maka orang dengan mudahnya menendang batu kokoh itu”, jelas nenek dengan panjang lebar.
“Oh.. begitu ya Nek” Ucapku dengan terkagum-kagum mendengar penjelasan Nenek.
“Wah, aku pikir ini hanya sebuah permainan saja, Nek.” Ucap Dino.
“Iya ya, aku pikir selama ini batu tujuh hanya permainan saja” Ucap Andi.
“betul, ternyata banyak sekali unsure keagamaan yang terdapat pada permainan batu tujuh. “Walaupun hanya permainan ternyata juga sebagai contoh iman kita masing-masing  ya..” Ucap Laras.
“Ya, jadi kita harus terus mempertahankan permainan tradisional ini” kata Dinda dengan semangat.
“Benar sekali”, ucapku dengna nenek sambil tersenyum-senyum kecil.
Nenek pun berkata
“Kalian harus janji, terus melestarikan permainan tradisional yang kaya akan unsur budaya ini agar dapat dinikmati juga deh anak dan cucu kalian”.
“Kami janji” jawab kami semua dengan serentak.

Kami pun pamit pergi ke lapangan untuk bermain batu tujuh.
“Kami pergi dulu ya Nek!” Pamitku dan teman-teman.
“ya, hati-hati di jalan ya cu.” Ucap Nenek.
“Iya Nek” Kataku.

Aku dan teman-teman pun pamit setelah itu kami pun menuju lapangan. Sesampainya disana kamipun membagi tugas. Aku, Dinda dan Laras mencari tujuh buah batu kecil sedangkan Dino dan Andi mencari satu buah batu besar setelah semuanya terkumpul kami pun membuat lingkaran sedang dan menyusun tujuh buah batu kecil di tengah-tengah dan meletakkan satu buah batu besar disamping batu kecil. Sesudah itu kami pun menentukan siapa yang jaga dengan cara hompimpa. Ya…… ternyata aku sendiri yang jaga.
“Huuh… kok aku sih yang jaga!” Gerutuku kesal.
“Ha,ha,ha,ha… ternyata kamu yang jaga kasihan deh Ika.” Kata Laras sambil tertawa.
“Eh, kalian mengapa malah mentertawakan aku sih.” Ucapku dengan marah.
“Sudah-sudah ini kan cuma permainan.” Kata Dino menengahi.
“Iya Ika”, Kata Andi.
“Ya sudah, ayo cepat jaga.” Ujar Dinda.
“Iya-iya…” Jawabku pasrah.
Akupun menutup mata dan berhitung sampai sepuluh setelah selesai aku pun mencari mereka, susah sekali mencari mereka. Apalagi lapangan ini luas sekali dan banyak pohon-pohon yang lebat. Tapi saat aku mencari di dekat semak-semak terlihat baju berwarna biru, sepertinya itu baju Andi ujar ku dalam hati. Aku pun menggom Andi dengan menginjak batu besar yang ada di dekat batu kecil itu. Ternyata aku salah duga baju biru itu sebenarnya baju Dino, Andi pun tidak terima dan terjadilah adu mulut antara aku dan Andi.
“Ika, kamu itu curang” ucap Andi dengan kasar.
“Tidak, aku tidak curang kok” kataku sambil membela bahwa aku tidak bersalah.
Teman pun keluar dari tempat persembunyian mereka.
“Ada apa ini?” Tanya Dino dengan heran.
“Ini Din, si Andi bilang aku bermain curang padahalkan aku tidak curang.” Kataku sambil membela diri.
“Tidak Din, sih Ika emang curang” kata Andi dengan marah.
“Bukan aku yang curang tapi kamu!” Balasku.
“Adanya yang curang itu kamu!” Balas Andi tidak mau kalah.
“sudah-sudah kalian jelaskan satu-satu”, kata Dino menengahi.
Aku pun menjelaskan kalau aku salah mengira kalau baju biru yang aku lihat di semak-semak itu adalah baju Andi, ternyata baju itu adalah baju Dino, aku kan tidak tahu jelasku panjang lebar kepada teman-teman.
“Oh… begitu.” Ucap Dino.
“Kalau begitu kalian berdua baikan”, kata Dino kepadaku dan Andi.
“Iya deh.” Jawab kami berdua.
“Maaf ya Andi aku salah.” Kataku.
“Iya, aku juga salah, maaf ya…” Balas Andi.
“Nah kalau begini kan enak dilihat kalau kalian akur lagi” kata Dino sambil tersenyum.
“Iya, jangan pada berantem kapan kita mau main lagi kalau kalian pada berantem.” Kata Laras.
“Iya nih, kita main lagi yuk…”Ajak Andi
“Ayo.” Jawab kami semua dengan penuh semangat.
Aku menghitung lagi sampai sepuluh,  setelah mereka semua sembunyi aku pun langsung mencari mereka. Rasanya sulit sekali mencari mereka. Sudah aku cari dimana-mana tetap tidak ketemu akhirnya aku berhasil menemukan Laras, tetapi aku terkecoh dan akhirnya batu ku ditendang oleh Dinda akhirnya Laraspun bebas.
Berkali-kali aku mencari,  berkali-kali pula aku yang menjaga huuuuhhh….!!! Aku sudah capek mencari mereka kesana kemari.
Sekali mereka tertangkap mereka terlepas lagi, aku memang tidak pandai menjaga buktinya aku terkecoh terus.
Hari sudah senja aku pun telah mencari mereka akhirnya aku menyerah dan mengajak mereka pulang.
“Teman-teman aku menyerah.” Kataku sambil terengah-engah.
“Ah, kamu selalu saja capek.” Kata Laras.
“Tapi seru ya.” Kata Dino dan Andi.
“Iya seru sekali.” Kata Laras dan Dinda.
“Kalian sih enak, aku nih yang sengsara.” Ucapku dengan ketus.
“Iya maaf ya, ayo kita pulang.” Kata Dino.
“Ayo.” Jawab kami semua dengan serentak.

Saat di perjalanan pulang kami bercakap-cakap.
“Hei, kita beruntung ya punya permainan yang kaya akan unsur budayanya.” Kata ku.
“Iya kita beruntung sekali” balas Dinda.
Di perjalanan pulang kami berjanji untuk menjaga dan melestarikan kekayaan budaya tradisional yang ada saat ini agar nanti dapat juga dirasakan oleh anak dan cucu kita semua.
           

Hal yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah:
1.      Kita harus melestarikan hasil kebudayaan tradisional yang kita miliki.
2.      Bersyukur atas kebudayaan yang kita miliki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar